Tauhid
» Iman Kepada Allah (Tauhid dan Tanzih)
1. Dalil-Dalil Tentang Iman Kepada
Allah
Firman Allah SWT:
![http://www.cybermq.com/gambarpustaka/image1-1.gif](file:///C:/Users/ABSENSI/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
Wahai orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Barangsiapa kafir (tidak beriman) kepada Allah, malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat, maka sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat. QS. an-Nisaa' (4): 136.
![http://www.cybermq.com/gambarpustaka/image2-1.gif](file:///C:/Users/ABSENSI/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. QS. al-Baqarah (2): 163.
![http://www.cybermq.com/gambarpustaka/image3-1.gif](file:///C:/Users/ABSENSI/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image003.gif)
Allah itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup tidak berkehendak kepada selain-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Bukankah tidak ada orang yang memberikan syafaat di hadapan-Nya jika tidak dengan seizin-Nya? Ia mengetahui apa yang di hadapan manusia dan apa yang di belakang mereka, sedang mereka tidak mengetahui sedikit jua pun tentang ilmu-Nya, kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuannya meliputi langit dan bumi. Memelihara kedua makhluk itu tidak berat bagi-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. QS. al-Baqarah (2): 255.
![http://www.cybermq.com/gambarpustaka/image4-1.gif](file:///C:/Users/ABSENSI/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.gif)
Dialah Allah, Tuhan Yang Tunggal, yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui perkara yang tersembunyi (gaib) dan yang terang Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah Allah, tidak tidak ada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, yang sejahtera yang memelihara, yang Maha Kuasa. Yang Maha Mulia, Yang Jabbar,lagi yang Maha besar, maha Suci Allah dari segala sesuatu yang mereka perserikatkan dengannya. Dialah Allah yang menjadikan, yang menciptakan, yang memberi rupa, yang mempunyai nama-nama yang indah dan baik. Semua isi langit mengaku kesucian-Nya. Dialah Allah Yang Maha keras tuntutan-Nya, lagi Maha Bijaksana. QS. al-Hasyr (59): 22-24
Dalam Surat Al-Ikhlash, yang
mempunyai arti:
"Katakanlah olehmu (hai
Muhammad): Allah itu Maha Esa. Dialah tempat bergantung segala makhluk dan
tempat memohon segala hajat. Dialah Allah, yang tiada beranak dan tidak
diperanakkan dan tidak seorang pun atau sesuatu yang sebanding dengan Dia." QS. al-Ikhlash (112): 1-4.
Sabda RasululIah SAW:
![http://www.cybermq.com/gambarpustaka/image6-1.gif](file:///C:/Users/ABSENSI/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image005.gif)
Katakanlah olehmu (wahai Sufyan, jika kamu benar-benar hendak memeluk Islam): Saya telah beriman akan Allah; kemudian berlaku luruslah kamu. (HR. Taisirul Wushul, 1: 18).
![http://www.cybermq.com/gambarpustaka/image7-1.gif](file:///C:/Users/ABSENSI/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image006.gif)
Manusia yang paling bahagia memperoleh syafaat-Ku di hari kiamat, ialah: orang yang mengucapkan kalimat La ilaha illallah. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12).
![http://www.cybermq.com/gambarpustaka/image8-1.gif](file:///C:/Users/ABSENSI/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image007.gif)
Barangsiapa mati tidak memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk surga. Dan barangsiapa mati tengah memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk neraka. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12.
2. Pengertian Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah ialah:
1. Membenarkan dengan yakin akan
adanya Allah;
2. Membenarkan dengan yakin akan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya menciptakan alam makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima ibadat segenap makhluk-Nya;
3. Membenarkan dengan yakin, bahwa Allah bersifat dengan segala sifat sempurna, suci dari segala sifat kekurangan dan suci pula dari menyerupai segala yang baharu (makhluk).
2. Membenarkan dengan yakin akan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya menciptakan alam makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima ibadat segenap makhluk-Nya;
3. Membenarkan dengan yakin, bahwa Allah bersifat dengan segala sifat sempurna, suci dari segala sifat kekurangan dan suci pula dari menyerupai segala yang baharu (makhluk).
Demikianlah pengertian iman akan
Allah, yang masing-masing diuraikan dalam pasal-pasal yang akan datang.
Makrifat
Perlu dijelaskan lebih dahulu, bahwa
membenarkan dalam pengertian iman seperti yang tersebut di atas, ialah
suatu pengakuan yang didasarkan kepada makrifat. Karena itu perlulah kiranya
diketahui dahulu akan arti dan kedudukan makrifat itu.
Makrifat ialah: "Mengenal Allah
Tuhan seru sekalian alam" untuk mengenal Allah, ialah dengan memperhatikan
segala makhluk-Nya dan memperhatikan segala jenis kejadian dalam alam ini.
Sesungguhnya segala yang diciptakan Allah, semuanya menunjukkan akan
"adanya Allah". memakrifati Allah, maka Dia telah menganugerahkan akal
dan pikiran. Akal dan pikiran itu adalah alat yang penting untuk memakrifati
Allah, Zat yang Maha Suci, Zat yang tiada bersekutu dan tiada yang serupa.
Dengan memakrifati-Nya tumbuhlah keimanan dan keislaman. Makrifat itulah
menumbuhkan cinta, takut dan harap. Menumbuhkan khudu' dan khusyuk
didalam jiwa manusia. Karena itulah makrifat dijadikan sebagai pangkal
kewajiban seperti yang ditetapkan oleh para ahli ilmu Agama. Semuanya
menetapkan: "Awwaluddini, ma'rifatullah permulaan agama, ialah
mengenal Allah". Dari kesimpulan inilah pengarang az-Zubad
merangkumkan syairnya yang berbunyi:
![http://www.cybermq.com/gambarpustaka/image9-1.gif](file:///C:/Users/ABSENSI/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image008.gif)
Permulaan kewajiban manusia, ialah mengenal akan Allah dengan keyakinan yang teguh.
Dalam pada itu, harus pula
diketahui, bahwa makrifat yang diwajibkan itu, ialah mengenali sifat-sifat-Nya
dan nama-nama-Nya yang dikenal dengan al-Asmaul Husna (nama-nama yang
indah lagi baik). Adapun mengetahui hakikat Zat-Nya, tidak dibenarkan, sebab
akal pikiran tidak mampu mengetahui Zat Tuhan. Abul Baqa al-'Ukbary dalam Kulliyiat-nya
menulis: "ada dua martabat Islam: (l) di bawah iman, yaitu mengaku
(mengikrarkan) dengan lisan, walaupun hati tidak mengakuinya; dan (2) di atas
iman, yaitu mengaku dengan lidah mempercayai dengan hati, dan mengerjakan
dengan anggota".
Sebagian besar ulama Hanafiyah dan
ahli hadits menetapkan bahwa iman dan Islam hanya satu. Akan tetapi Abul Hasan
al-Asy'ari mengatakan: Iman dan Islam itu berlainan".
Abu Manshur al-Maturidi berpendapat,
bahwa: "Islam itu mengetahui dengan yakin akan adanya Allah, dengan tidak meng-kaifiyat-kan-Nya
dengan sesuatu kaifiyat, dengan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu
pun dari makhluk-Nya. Tempatnya yang tersebut ini, ialah dalam hati. Iman ialah
mempercayai (mengetahui) akan ketuhanan-Nya dan tempatnya ialah di dalam dada
(hati). Makrifat ialah mengetahui Allah dan akan segala sifat-Nya. Tempatnya
ialah di dalam lubuk hati (fuad). Tauhid ialah mengetahui (meyakini)
Allah dengan keesaan-Nya. Tempatnya ialah di dalam lubuk hati dan itulah yang
dinamakan rahasia (sir).
Inilah empat ikatan, yakni: lslam,
iman, makrifat, dan tauhid yang bukan satu dan bukan pula berlainan. Apabila
keempat-empatnya bersatu, maka tegaklah Agama.
3. Cara Mengakui Ada-Nya Allah
Mengakui ada-Nya Allah, ialah:
"Mengakui bahwa alam ini mempunyai Tuhan yang wajib wujud (ada-Nya), yang qadim
azali, yang baqi (kekal), yang tidak serupa dengan segala yang
baharu. Dialah yang menjadikan alam semesta dan tidaklah sekali-kali alam ini
terjadi dengan sendirinya tanpa diciptakan oleh yang wajib wujud-Nya itu".
Demikianlah ringkasan cara
mengetahui akan ada-Nya Allah, Sang Maha Pencipta dan Maha Pengendali alam yang
sangat luas dan beraneka ragam ini.
4. Cara Menetapkan Ada-Nya Allah
Agama Islam menetapkan ada-Nya Tuhan
(Wujudullah) dengan alasan yang jitu dan tepat, yang tidak dapat
dibantah dan disanggah; karena alasan yang dikemukakan oleh Agama Islam
(al-Qur'an) adalah nyata, logis (manthiqy) dan ilmiah.
Dalailul Wujud atau Dalailut Tauhid ini dibahas dalam kitab-kitab
ilmu kalam, karenanya baiklah kita tinjau lebih dahulu keadaan perkembangan
ilmu kalam itu.
4.1. Aliran Kitab Tauhid
Untuk menjelaskan dalil-dalil yang
diperlukan dalam menetapkan dasar-dasar aqidah, para ulama tauhid (ulama
kalam), dari abad ke abad terus-menerus menyusun berbagai rupa kitab tauhid dan
kitab kalam.
Dalam garis besarnya kitab-kitab
tersebut terbagi atas tiga aliran:
(1) Aliran Salafi atau Ahlun Nash.
Di antara pemukanya ialah Imam Ahmad Ibn Hanbal.
(2) Aliran Ahlul I'tizal (Mu'tazilah) yang dipelopori oleh Washil ibn 'Atha'.
(3) Aliran Asy'ari, yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy'ari. jejaknya berturut-turut diikuti oleh Abu Bakar al-Baqillani, al-Juani, al-Ghazali, Ibnul Kathib, al-Baidawi dan ulama-ulama lain seperti ath- Thusi, at-Taftazani dan al-Ijzi.
(2) Aliran Ahlul I'tizal (Mu'tazilah) yang dipelopori oleh Washil ibn 'Atha'.
(3) Aliran Asy'ari, yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy'ari. jejaknya berturut-turut diikuti oleh Abu Bakar al-Baqillani, al-Juani, al-Ghazali, Ibnul Kathib, al-Baidawi dan ulama-ulama lain seperti ath- Thusi, at-Taftazani dan al-Ijzi.
Di samping itu ada pula aliran
Maturidi, yang dipelopori oleh Abu Manshur al-Maturidi.
Cuma yang disayangkan ialah kebanyakan kitab-kitab yang disusun belakangan, tidak berdasarkan Salafi dan tidak pula berdasarkan nadhar yang benar. Setengahnya ada yang mendasarkan kepercayaan kepada dalil-dalil yang dapat dibantah oleh para filosof dan tidak dapat dipertahankan.2
Cuma yang disayangkan ialah kebanyakan kitab-kitab yang disusun belakangan, tidak berdasarkan Salafi dan tidak pula berdasarkan nadhar yang benar. Setengahnya ada yang mendasarkan kepercayaan kepada dalil-dalil yang dapat dibantah oleh para filosof dan tidak dapat dipertahankan.2
1. Dari 1 sampai 10, baik dilewati,
jika ingin langsung mempelajari dalil-dalil ada-Nya Allah atau dalailul
wujud atau dalailut tauhid.
2. Lihat. 'Abdurrahman al-Jazairi Taudihul 'Aqa'id.
2. Lihat. 'Abdurrahman al-Jazairi Taudihul 'Aqa'id.
4.2. Pengertian Ilmu Tauhid
Ada beberapa ta'rif ilmu tauhid yang
diberikan oleh para ulama. Di bawah ini disebutkan beberapa diantaranya yang
dipandang tepat dengan yang dimaksud.
Pertama: Ilmu tauhid, ialah "ilmu yang membahas dan
melengkapkan segala hujjah, terhadap keimanan, berdasarkan dalil-dalil akal
serta menolak dan menangkis segala paham ahli bid'ah yang keliru, yang
menyimpang dari jalan yang lurus".
Kedua: Ilmu tauhid, ialah ilmu yang di dalamnya dibahas:
[1] Tentang wujud Allah,
sifat-sifat-Nya yang wajib di-itsbat-kan bagi-Nya, sifat-sifat yang harus (mumkin)
bagi-Nya dan sifat-sifat yang wajib ditolak daripada-Nya.
[2] Tentang kerasulan rasul-rasul untuk membuktikan dan menetapkan kerasulannya; tentang sifat-sifat yang wajib baginya; sifat-sifat yang mumkin dan tentang sifat-sifat yang mustahil baginya.
[2] Tentang kerasulan rasul-rasul untuk membuktikan dan menetapkan kerasulannya; tentang sifat-sifat yang wajib baginya; sifat-sifat yang mumkin dan tentang sifat-sifat yang mustahil baginya.
Ta'rif pertama, memasukkan segala
soal keimanan, baik mengenai ketuhanan, kerasulan, maupun mengenai soal-soal
gaib yang lain, seperti soal malaikat dan akhirat. Tegasnya, melengkapi Ilahiyat,
(soal-soal ketuhanan), nubuwwat (kenabian, kitab, malaikat) dan Sam'iyat
(soal-soal keakhiratan, alam gaib). Ta'rif yang kedua mengkhususkan ilmu tauhid
dengan soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja.
Dengan berpegang pada ta'rif yang
pertama, maka sebahagian ulama tauhid membahas soal-soal malaikat, soal-soal
kitab, soal-soal kadar, soal-soal akhirat, dan lain-lain yang berhubungan
dengan soal beriman di bagian akhir dari kitab-kitab mereka.
Ulama yang berpegang pada ta'rif
yang kedua, hanya membahas soal-soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan
saja. Risalah Tauhid Muhammad Abduh yang sangat terkenal dalam dunia
ilmu pengetahuan adalah salah satu dari kitab yang berpegang pada takrif
kedua.3
3. Risalah Tauhid.
4.3. Perkembangan Ilmu Tauhid
Dalam Sejarah Dan Cara Al-Qur'an Membicarakannya
Ilmu yang membahas dasar-dasar iman
kepada Allah dan Rasul, telah sangat tua umumnya. Di setiap umat sejak zaman
purba, ada ulamanya yang membahas ilmu ini. Cuma, mereka dahulu tidak
mendasarkan penerangan-penerangan yang mereka ajarkan, kepada alasan-alasan
akal; bahkan mereka kurang sekali mendasarkan kepercayaan kepada hukum dan
karakter alam.
Al-Qur'an yang didatangkan untuk
menyempurnakan segala yang masih kurang, segala yang belum sempurna, memakai
cara dan sistem berpadanan dengan perkembangan akal dan kemajuan ilmu.
Al-Qur'an menerangkan iman dengan mengemukakan dalil serta membantah
kepercayaan yang salah dengan memberikan alasan-alasan yang membuktikan
kesalahannya. Al-Qur'an menghadapkan pembicaraannya kepada akal serta
membangkitkan dari tidurnya dan membangunkan pikiran dengan meminta pula supaya
ahli-ahli akal itu memperhatikan keadaan alam. Maka al-Qur'an-lah akal
bersaudara kembar dengan iman.
Memang diakui oleh ulama-ulama
Islam, bahwa diantara "ketetapan agama", ada yang tidak dapat
diitikadkan (diterima kebenarannya) kalau bukan karena akal menetapkannya,
seperti: mengetahui (meyakini) ada-Nya Allah, qudrat-Nya, ilmu-Nya dan seperti
membenarkan kerasulan seseorang rasul. Demikian juga mereka bermufakat
menetapkan, bahwa mungkin agama mendatangkan sesuatu yang belum dapat dipahami
akal. Akan tetapi, mungkin agama mendatangkan yang mustahil pada akal.
Al-Qur'an mensifatkan Tuhan dengan
berbagai sifat yang terdapat namanya pada manusia, seperti: qudrat,
ikhtiyar, sama', dan bashar. karena al-Qur'an menghargai akal dan
membenarkan hukum akal, maka terbukalah pintu nadhar (penyelidikan) yang
lebar bagi ahli-ahli akal (ahli-ahli nadhar) itu dalam menetapkan apa yang
dimaksud oleh al-Qur'an dengan sifat-sifat itu. Pintu nadhar ini membawa kepada
berwujud berbagai rupa paham diantara para ahli akal atau nadhar. Perselisihan
yang terjadi karena berlainan nadhar ini, dibenarkan al-Qur'an asal saja tidak
sampai kepada meniadakan sifat-sifat Tuhan, seperti yang diperbuat oleh
golongan Mu'aththilah dan tidak sampai kepada menserupakan sifat-sifat
Tuhan dengan sifat-sifat makhluk, sebagai yang dilakukan oleh golongan Musyabbihah.
Para ulama salah mensifatkan tuhan
dengan sifat-sifat yang tuhan sifatkan diri-Nya dengan tidak meniadakan-Nya,
tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk dan tidak menakwilkannya. Para
mutakalimin khalaf mensifatkan Tuhan dengan cara menakwilkan beberapa sifat
yang menurut pendapat mereka perlu ditakwilkan. Golongan mutakalimin khalaf
membantah ta'thil (meniadakan sifat Tuhan) dan membantah tamsil
(menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat rnakhluk).
Ringkasnya, para salaf beritikad
sepanjang yang dikehendaki oleh lafadh. tetapi dengan mensucikan Allah dari
serupa dengan makhluk. 4
4. Perhatikan uraian Dr. Muhammad
al-Bahy dalam al-Janibul llahi.
4.4. Kedudukan Nadhar Dalam Islam
Dalam kitab Hawasyil Isyarat
disebutkan, bahwa nadhar itu ialah menggunakan akal di sekitar masalah
yang dapat dijangkau oleh akal (ma'qulat).
Para filosof bermufakat, bahwa
nadhar itu hukum yang digunakan dalam mengetahui dalil. Alasan yang menegaskan
bahwa nadhar ini sah dan menghasilkan keyakinan, ialah bahwa dalam alam ini
terdapat kebenaran dan kebatalan. Manusia juga terbagi atas dua macam: Ahli
hak dan ahli batal. Tidak dapat diketahui mana yang hak dan mana
yang batal. kalau bukan dengan nadhar. Dengan demikian maka fungsi nadhar
(penelitian) ialah untuk menjelaskan hal-hal yang gaib agar dapat dicerna oleh
akal disamping menentukan mana yang benar diantara dua pendapat yang berbeda.
Melalui nadhar, manusia bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan. Untuk
mengetahui mana yang hak dan mana yang batal. mana yang kufur dan mana yang
iman, demikian pula untuk mengenal Allah dan Rasul-Nya lebih jelas haruslah
melalui nadhar. Karena itu, bertaklid buta. Tidak mau lagi melakukan nadhar
adalah keliru sesat dan menyesatkan. Dalam al-Qur'an cukup banyak dijumpai
ayat-ayat yang memerintahkan untuk melakukan nadhar. Diantara-nya ialah:
![http://www.cybermq.com/gambarpustaka/image10-1.gif](file:///C:/Users/ABSENSI/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image009.gif)
Katakanlah ya Muhammad:
"Lihatlah apa yang di langit dan di bumi; dan tidak berguna tanda-tanda
dan peringatan-peringatan kepada kaum yang tidak beriman". (QS. Yunus (l0): 10l).
![http://www.cybermq.com/gambarpustaka/image11-1.gif](file:///C:/Users/ABSENSI/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image010.gif)
Mengapakah mereka tidak melihat
kepada alam (malakut) langit dan bumi dan kepada apa yang Allah jadikan?. (QS. al-A'raf (7): 185).
![http://www.cybermq.com/gambarpustaka/image12-1.gif](file:///C:/Users/ABSENSI/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image011.gif)
Maka ambil ibaratlah wahai ahli akal. (QS. al-Hasyr (59): 2).
![http://www.cybermq.com/gambarpustaka/image13-1.gif](file:///C:/Users/ABSENSI/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image012.gif)
Dan demikianlah Kami perlihatkan
kepada Ibrahim bumi malakut (langit) dan bumi. (QS. al-An'am (6): 75).
Ayat-ayat tersebut diatas adalah
nash yang tegas yang mendorong untuk melakukan nadhar terhadap segala maujud,
dan menjadi nash yang tegas pula yang mewajibkan kita memakai qiyas 'aqli
atau qiyas manthiqi dan sya'i. Ayat yang terakhir menerangkan,
bahwa Allah telah nadhar kepada Ibrahim as.
4.5. Kedudukan Akal Dalam
Pandangan Islam
Dalam kitab Hawasyil-Isyarat
diterangkan bahwa akal itu, ialah tenaga jiwa untuk memahami mujarradat
(sesuatu yang tidak dapat diraba atau dirasa dengan pancaindera). Kekuatan jiwa
yang mempersiapkan untuk memikir (berusaha), dinamai dzihin. Gerakan
jiwa untuk memikir sesuatu agar diperoleh apa yang dimaksudkan, dinamai fikir.
Tersebut dalam suatu kitab falsafah:
"Akal itu suatu kekuatan untuk mengetahui makna mujarradat, makna
yang diperoleh dari menyelidiki dan rupa-rupa benda". memperhatikan
rupa-rupa benda". Al-Mawardi dalam A'lamun-Nubuwwah menulis:
"Akal itu suatu tenaga yang memberi faedah bagi kita mengetahui segala
yang menjadi kepastiannya". Ada pula yang mengatakan: "Akal itu
kekuatan yang membedakan yang hak dengan yang batal".
Al-Mawardi membagi akal kepada: gharizi
dan kasbi. Gharizi adalah pokok akal, sedang kasbi adalah
cabang yang tumbuh daripadanya: itulah akal yang dengannya berpaut dan
bergantung taklif dan beribadat. Adapun akal kasbi (akal muktasab),
ialah akal yang digunakan untuk berijtihad dan menjalankan nadhar. Akal ini
tidak dapat terlepas dari akal gharizi, sedang akal gharizi
mungkin terlepas dari akal ini.
4.6. Martabat Akal Dalam Memahami
Hakikat
Para hukama berpendapat bahwa
manusia memahami hakikat dengan jalan: [1] dengan pancaindera, dalam hal ini manusia
sama dengan hewan; dan [2] dengan akal (rasio).
Mengetahui sesuatu dengan akal hanya
tertentu bagi manusia. Dengan akallah manusia berbeda dari binatang.
Orang yang telah biasa memperhatikan
soal-soal yang ma'qulat (yang diperoleh melalui akal) nyata kepadanya
kemuliaan dan keutamaan yang diketahuinya itu. Baginya terang pula bahwa yang
diketahui melalui indera pemandangan akal sama dengan sesuatu yang masib kabur,
dibanding sesuatu yang telah dapat dipastikan baiknya melalui akal. Inilah
sebabnya Al-Qur'an dalam seruannya kepada mengakui ada-Nya Allah dari
keesaan-Nya, membangkitkan akal dari tidurnya. Seruan yang begini, tidak
dilakukan oleh umat-umat yang dahulu. sebagai yang sudah dibayangkan sebelum
ini.
4.7. Bukti Kelebihan Dan
Keutamaan Akal Atas Pancaindera
Para hukama telah membuktikan, bahwa
akal lebih mulia dari pancaindera. Apa yang diperoleh akal lebih kuat dari yang
didapati pancaindera.
Alasannya:
[1] Pancaindera hanya dapat merasa,
melihat dan membaui.
[2] Akal dapat menjelaskan tentang adanya Zat Tuhan. sifat-sifat-Nya dan berbagai soal yang hanya bisa diperoleh melalui akal, dan berbagai macam pengetahuan hasil nadhar.
[3] Akal dapat sampai pada hakikat, sedang pancaindera hanya memperoleh yang lahir saja, yaitu yang terasa saja.
[4] Akal tidak berkesudahan, sedang pancaindera adalah berkesudaban (hiss).
[2] Akal dapat menjelaskan tentang adanya Zat Tuhan. sifat-sifat-Nya dan berbagai soal yang hanya bisa diperoleh melalui akal, dan berbagai macam pengetahuan hasil nadhar.
[3] Akal dapat sampai pada hakikat, sedang pancaindera hanya memperoleh yang lahir saja, yaitu yang terasa saja.
[4] Akal tidak berkesudahan, sedang pancaindera adalah berkesudaban (hiss).
4.8. Akal Pokok Pengetahuan
Al-Mawardi berpendapat, bahwa dalil
itu, ialah sesuatu yang menyampaikan kepada meyakini mad-lul-nya.
Dalil-dalil diyakini dengan jalan akal dan mad-lul-nya diyakini dengan
jalan dalil. Tegasnya, akal itu menyampaikan kepada dalil; dia sendiri bukan
dalil. Karena akal itu pokok segala yang diyakini, baik dalil maupun madlul.
Mengingat hal ini dapatlah dikatakan, akal adalah pokok pengetahuan (al-'aqlu
ummul 'ulum). Ilmu yang diperoleh daripadanya ialah pembeda kebenaran dari
kebatalan; yang shahih yang fasid; yang mumkin dari yang
mustahil.
Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui
akal, ada dua macam: Idthirari dan Iktisabi.
1. Ilmu Idthirari, ialah ilmu yang diperoleh
dengan mudah, tidak perlu melakukan nadhar yang mendalam. Ilmu ini terbagi dua:
[1] yang terang dirasakan; dan [2] berita-berita mutawatir.
Ilmu yang dirasakan atau yang
diperoleh dengan hiss, datang sesudah akal, dan ilmu khabar mendahului akal.
Ilmu Idthirari ini, tidak memerlukan
nadhar dan istidal; karena mudah diketahui. Khawwash dan 'awwam dapat
mengetahuinya, ilmu yang diperoleh dengan jalan ini, tidak ada yang
mengingkarinya.
2. Ilmu Iktisabi, ialah ilmu yang
diperoleh dengan jalan nadhar dan istidal. Dia tidak mudah diperoleh. Ilmu
inilah yang memerlukan dalil atau dimintakan dalilnya.
Ilmu Iktisabi ini terbagi dua juga:
- yang ditetapkan oleh akal
(berdasarkan ketetapan-ketetapan akal).
- yang ditetapkan oleh hukum-hukum pendengaran (yang diterima dari syara').
- yang ditetapkan oleh hukum-hukum pendengaran (yang diterima dari syara').
Hukum-hukum yang ditetapkan
berdasarkan akal terbagi dua pertama, yang diketahui karena mengambil dalil
dengan tidak berhajat kepada dalil akal (nadhar); kedua, yang diketahui
karena mengambil dalil dengan dalil-dalil akal.
Yang diketahui dengan tidak perlu
kepada dalil akal (nadhar) ialah yang tidak boleh ada lawannya, seperti
keesaan Allah. Dengan sendirinya akal dengan mudah mengetahui keesaan Tuhan
itu. Yang diketahui dengan memerlukan dalil akal, ialah: yang boleh ada
lawannya, seperti seseorang nabi mendakwakan kenabiannya. Ringkasnya mengetahui
atau meyakini keesaan Allah tidak memerlukan akan akal; sebab dengan mudah akal
dapat mengetahuinya. Adapun meyakini kerasulan seseorang rasul, memerlukan
dalil akal.
Ketetapan-ketetapan yang berdasarkan
hukum pendengaran, diterima dari Shahibisy Syari'ah, sedang akal
disyaratkan dalam melazimi ketetapan-ketetapan itu, walaupun pendengaran tidak
disyaratkan dalam soal-soal yang ditetapkan akal semata-mata.
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh
pendengaran ada dua macam: yakni: Ta'abbud dan Indzar. Ta'abbud
mencakup larangan dan suruhan. Indzar, mencakup wa'ad dan wa'id.
4.9. Jalan Mengetahui ada-Nya
Allah
Abu Haiyan mengatakan: Mengetahui
ada-Nya Allah adalah daruri, jika ditinjau dari sudut akal, dan nadari
dari sudut hiss pancaindera.
Ilmu adakala dituntut melalui akal,
dalam soal-soal yang dapat dipikirkan (ma'qulat), adakala dituntut
dengan hiss (pancaindera) dalam soal-soal yang dirasakan. Seseorang
manusia bisa memikir, bahwa mengetahui ada-Nya Allah adalah suatu iktisab
(hal yang diperoleh dengan jalan istidlal): karena hiss itu mencari-cari dan
membolak-balikkan masalah dengan pertolongan akal. Dia dapat pula memikiri,
bahwa mengetahui ada-Nya Allah, daruri; karena akal yang sejahtera menggerakkan
manusia kepada mengakui ada-Nya Allah dan menyalahkan akal mengingkari-Nya.
Al-Farabi dalam al-Fushush (fash
yang empat belas, menulis: "Anda dapat memperhatikan alam makhluk, kalau
anda lihat tanda-tanda pembuatan. Tetapi juga anda dapat meninjau alam mahad
(alam yang terlepas dari kebendaan), lalu anda yakini, bahwa tidak boleh tidak
ada-Nya Zat. Dan dapat pula anda mengetahui betapa seharusnya sifat-sifat yang
ada pada Zat itu. Kalau anda memandang alam maddah, berarti anda naik
dan kalau anda memperhatikan alam mahad, berarti anda turun".
0 komentar:
Posting Komentar