KUJANG

KUJANG

Selasa, 07 April 2015

SEJARAH SUNDA GALUH HYANG AGUNG

SEJARAH SUNDA GALUH HYANG AGUNG
https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc1/t1.0-9/q71/s720x720/1962835_679058425465676_725730138_n.jpg
Kesalah-kaprahan dalam memahami "Sunda" sebagai nama sebuah suku bangsa atau kelompok masyarakat yang tinggal di pulau Jawa bagian Barat telah berakibat fatal dan tragis terhadap keberadaan nama "Galuh".

"Galuh" adalah nama bangsa yang menganut ajaran / agama "Sunda". Dengan demikian yang selama ini selalu disebut "Orang Sunda" sebagai kelompok kesukuan atau kemasyarakatan maksud yang sebenarnya adalah "Orang Galuh" atau "Bangsa Galuh Agung" (tepatnya menunjuk kepada penduduk wilayah Rama), sebab sangat mustahil orang yang menganut agama Sunda sekaligus mengaku beragama Islam atau Kristiani atau Hindu atau Buddha, ataupun yang lainnya.


Agar lebih jelas kita gunakan contoh sebagai berikut; jika seseorang mengatakan "Saya orang Indonesia beragama Islam" (*Islam = Selamat) pernyataan itu sering disingkat menjadi "Saya orang Islam". Lain hal jika kalimatnya berbunyi "Saya bangsa Indonesia menganut agama Islam", dalam kalimat tersebut jelas mengatakan status kebangsaannya, dan memang tidak ada "bangsa Islam" di Indonesia sebab yang layak disebut "bangsa Islam" tentunya hanya bangsa Arab itu sendiri. Maka demikian pula dengan persoalan Sunda dan Galuh, hingga dengan sewajarnya jika mengatakan bahwa "Saya orang Galuh beragama Sunda".

"Galuh" sama sekali bukan daerah kecil yang terletak di daerah Ciamis. Pada jaman dahulu luas wilayah Galuh hampir sama dengan luas Bumi atau boleh jadi hampir sama dengan luas keberadaan ajaran Sunda (Matahari).


Penyebaran ajaran Sunda di wilayah Galuh Hyang Agung

Di Eropa, khususnya wilayah Perancis dan sekitarnya nama atau sebutan “Galuh” lebih dikenal sebagai “Gaul” (Gaulia/ Golia/ Bangsa Gaul) dan lebih umum sering disebut sebagai bangsa Gallia. Sedangkan di wilayah Timur-Tengah tepatnya di Israel istilah “Galuh” dikenal dengan sebutan “Galillea” (Galilee). Untuk membuktikannya kita perlu memahami peninggalan sejarah dibeberapa negara yang secara prinsip hampir tidak ada bedanya dengan yang ada di Indonesia dan khususnya di pulo Jawa.

Ajaran bangsa Galuh yaitu Sundayana ataupun Surayana sangat kental dengan kehidupan masyarakat daerah Timur-Tengah (Israel) tepatnya di daerah “Galillea”. Pada mulanya kedatangan ajaran Sunda tentu saja ditentang oleh masyarakat lokal (Israel – Palestina), kejadian tersebut diabadikan dalam cerita David (Nabi Daud) melawan Goliath yang dikalahkan oleh sebuah “batu”, dan batu yang dimaksud adalah “lingga/ menhir atau batu satangtung”.

Kewilayahan Galuh Agung penganut ajaran Sunda (Matahari) dimasa lalu pada umumnya terdapat beberapa penanda sebagai perlambangan yaitu berupa; Batu Menhir (Lingga), Matahari, Simbol Ayam ataupun burung dan Terdapat simbol Sapi atau Kerbau atau sejenisnya.

1. MENHIR / LINGGA / BATU SATANGTUNG
Menhir (Lingga)
Lingga adalah sebuah “batu” penanda yang diletakan sebagai “pusat” kabuyutan, masyarakat Jawa Barat sering menyebutnya sebagai “Batu Satangtung” dan merupakan penanda wilayah RAMA. Bentuk menhir (lingga) di beberapa negara yang tidak memiliki batu alam utuh dan besar pada umumnya digantikan oleh ‘tugu batu’ buatan seperti yang terdapat di Mekah dan Vatican.

Lingga sebagai batu kabuyutan berasal dari kata “La-Hyang-Galuh” (Hukum Leluhur Galuh). Maksud perlambangan Lingga sesungguhnya lebih ditujukan sebagai pusat/ puseur (inti) pemerintahan disetiap wilayah Ibu Pertiwi, tentu saja setiap bangsa memiliki Ibu Pertiwi-nya masing-masing (Yoni).

Dari tempat Lingga (wilayah Rama) inilah lahirnya kebijakan dan kebajikan yang kelak akan dijalankan oleh para pemimpin negara (Ratu). Hal ini sangat berkaitan erat dengan ketata-negaraan bangsa Galuh dalam ajaran Sunda, dimana Matahari menjadi pusat (saka) peredaran benda-benda langit. Fakta yang dapat kita temui pada setiap negara (kerajaan) di dunia adalah adanya kesamaan pola ketatanegaraan yang terdiri dari Rama (Manusia Agung), Ratu (‘Maharaja’) dan Rasi (raja-raja kecil/ karesian) dan konsep ini kelak disebut sebagai Tri-Tangtu atau Tri-Su-La-Naga-Ra.

Umumnya sebuah Lingga diletakan dalam formasi tertentu yang menunjukan ke-Mandala-an, yaitu tempat sakral yang harus dihormati dan dijaga kesuciannya. Mandala lebih dikenal oleh masyarakat dunia dengan sebutan Dolmen yang tersebar hampir di seluruh penjuru dunia, di Perancis disebut sebagai Mandale sedangkan batunya (lingga) disebut Obelisk ataupun Menhir.

Mandala (tempat suci) secara prinsip terdiri dari 5 lingkaran berlapis yang menunjukan batas kewilayahan atau tingkatan (secara simbolik) yaitu;
1. Mandala Kasungka

2. Mandala Seba
3. Mandala Raja
4. Mandala Wangi
5. Mandala Hyang (inti lingkaran berupa ‘titik’ Batu Satangtung)

Ke-Mandala-an merupakan rangkaian konsep menuju kosmos yang berasal dari pembangunan kemanunggalan diri terhadap negeri, kemanunggalan negeri terhadap bumi, dan kemanunggalan bumi terhadap langit “suwung” (ketiadaan). Dalam bahasa populer sering disebut sebagai perjalanan dari “mikro kosmos menuju makro kosmos” (keberadaan yang pernah ada dan selalu ada).

2. LAMBANG AYAM / HAYAM
Ayam atau Hayam merupakan perlambangan atas dimulainya sebuah kehidupan. Dalam hal ini keberadaan sosok ayam sangat erat kaitannya dengan kehadiran Matahari. Ayam adalah siloka (symbol) para pendahulu yang memulai kehidupan (leluhur) dan bangsa Galuh menyebut para leluhurnya sebagai “Hyang”, maksudnya....




 

 

 

 

 


 

Sri Baduga Maharaja

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/15/Pura_Parahyangan_Agung_Jagatkartta%2C_Candi_Siliwangi_Shrine.jpg/300px-Pura_Parahyangan_Agung_Jagatkartta%2C_Candi_Siliwangi_Shrine.jpg

Sebuah kuil yang dibangun untuk menghormati Prabu Siliwangi di Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, Bogor, Jawa Barat.
Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pasundan, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran.

Daftar isi

Prabu Siliwangi

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/43/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Beschreven_steen_in_Batoetoelis_de_batu_tulis_TMnr_60016460.jpg/250px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Beschreven_steen_in_Batoetoelis_de_batu_tulis_TMnr_60016460.jpg
http://bits.wikimedia.org/static-1.24wmf3/skins/common/images/magnify-clip.png
Prasasti Batutulis di Bogor menyebutkan keagungan Sri Baduga Maharaja dalam sejarah.
Di Jawa Barat, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Biografi

Masa muda

Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subang Larang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam) sebagaimana keterangan di sebuah "naskah kuno" diceritakan bahwa Prabu Siliwangi adalah seorang Muslim, bersumberkan "Buku Carita Purwaka Caruban Nagari:, yang ditulis Pangeran Arya Cirebon (1720), Prabu Siliwangi masuk Islam saat hendak menikahi Subang Larang. Sri Baduga diislamlkan oleh Syekh Hasanuddin atau lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Quro (seorang ulama besar yang lahir sebelum era Wali Sembilan, yang berperan penting dalam Islamisasi di Jawa Barat). Subang Larang tak lain sebagai santri di pesantren yang dipimpin Syaikh Quro di Karawang.
Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar Sunda. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".

Perang Bubat

Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan fakta sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.

Kebijakan dalam kehidupan sosial

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.

Peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahannya

Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:

Carita Parahiyangan

Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.

Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.

Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka terlepas dari Pajajaran di Tatar Pasundan (Jawa Barat dan Banten).
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati Istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menyerahkan diri dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran.
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun Pagelaran (formasi tempur) karena Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu:
  1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
  2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
  3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
  4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Imperium Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.

Kultus Prabu Siliwangi

Ketua Pengurus Cabang Lesbumi NU Bogor Bambang “Ciras” Sudarsono mengatakan, bahwa Prabu Siliwangi adalah seorang Muslim. Ia diislamlkan oleh Syekh Hasanuddin atau lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Quro (seorang ulama besar yang lahir sebelum era Wali Sembilan, yang berperan penting dalam Islamisasi di Jawa Barat) saat hendak menikahi Nyi Subang Larang.

Subang Larang tak lain sebagai santri di pesantren yang dipimpin Syaikh Quro di Karawang,
kata Bambang kepada NU Online di Bogor Selasa (31/13)

Menurut Bambang, dari sebuah naskah kuno diceritakan bahwa Prabu Siliwangi adalah seorang Muslim, bersumberkan Buku Carita Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis Pangeran Arya Cirebon (1720), Prabu Siliwangi masuk Islam saat hendak menikahi Subang Larang.

“Kami ingin meluruskan mitos atau opini yang berkembang di masyarakat secara turun temurun, bahwa Prabu Siliwangi penganut Hindu. Prabu Siliwangi adalah seorang Muslim dan Pajajaran bukanlah kerajaan Hindu, melainkan kerajaan yang secara turun temurun mewariskan nilai Sunda Wiwitan atau Jati Sunda,” kata Bambang.

Dia melanjutkan, massifnya islamisasi Tatar Sunda tak lain berkat dukungan penuh Prabu Siliwangi, yang membebaskan putra putrinya untuk belajar Islam, melakukan dakwah ke seluruh pelosok “Tatar Sunda” atau bahkan mendirikan kesultanan baru yang mandiri dari Pajajaran sebagai “keraton” dan akar mereka.

Berkat kuatnya pengaruh gerakan islamisasi yang dilakukan dinasti Siliwangi di Jawa Barat, kini mayoritas masyarakat setempat menjadi penganut Islam yang taat. Nyaris sulit menemukan adanya orang Jawa Barat menganut agama selain Islam, sehingga muncullah istilah “Islam Sunda” dan “Sunda Islam.”

“Peringatan haul sebagai upaya mengenang jasa Prabu Siliwangi, bentuk silaturrahmi terhadap serta pewarisan terhadap nilai-nilai adiluhung yang ditinggalkannya,” tegas dia.

Selain itu, haul juga sebagai bentuk akulturasi antara Islam dengan budaya lokal (Sunda). Islam dan budaya Sunda perlu selaras dan berdampingan dalam upaya membimbing dan mencerahkan kehidupan masyarakat Tatar Sunda dalam bingkai kebangsaan.

Prabu Siliwangi merupakan nama gelar, karena masyarakat Jawa Barat pada umumnya sungkan untuk langsung menyebut nama sang tokoh. Prabu Siliwangi kecil bernama “Pangeran Pamanah Rasa”, yang lahir di Keraton Surawises Kawali, Kabupaten Ciamis, sekitar tahun 1411 dan wafat pada akhir Desember 1521 di Pakuan (Kota Bogor sekarang). Ia bertahta sebagai Raja Sunda Galuh (Pakuan Pajajaran) selama 39 tahun, yaitu mulai tahun 1482 hingga 1521, berkedudukan di Pakuan (Bogor).

Situs Batutulis di Kota Bogor merupakan bukti sejarah, yang menceritakan tentang era Prabu Siliwangi dalam memimpin Pajajaran. Situs ini dibuat oleh Prabu Surawisesa, putra mahkota yang melanjutkan tahta setelah wafatnya Prabu Siliwangi. Situs tersebut dibuat pada akhir bulan Desember 1533 m, sebagai peringatan 12 tahun setelah wafatnya Prabu Siliwangi.

Bambang yang juga tercatat sebagai salah satu pemangku adat Sunda di Palataran Pakujajar Sipatuhan Bogor mengatakan, Prabu Siliwangi tercatat sebagai raja yang adil dan bijaksana. Masa kepemimpinannya, dikenal sebagai era keemasan Pajajaran. Rakyat Pajajaran hidup kamkmur, damai dan sejahtera. Wilayah Pajajaran membentang dari pegunungan Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah, seluruh Jawa Barat, Selat Sunda hingga sebagian Lampung.

Dari aspek ekonomi, simbol utama kebesaran Pajajaran terletak di Pelabuhan Niaga Sunda Kalapa (Jakarta sekarang), yang merupakan pusat perniagaan terbesar dan tersibuk di seluruh Nusantara saat itu. Sunda Kalapa menjadi lalu lintas perdagangan dan jalur migrasi bangsa-bangsa asing ke Pulau Jawa. Selain itu, Pajajaran juga memiliki pelabuhan-pelabuhan lain di pantura Jawa Barat, yaitu Banten, muara Cisadane, Karawang, muara Cimanuk, dan Cirebon.

Menurut catatan Tom Pires, seorang penjelajah asal Portugis, yang bersama empat buah kapal dagang Portugis singgah di Pajajaran tahun 1513, Kerajaan Sunda Pajajaran adalah negeri para ksatria dan pahlawan laut, sehingga para pelautnya telah mampu berlayar ke berbagai negara mancanegara hingga ke Kepulauan Maladewa di Srilanka.

Dalam catatan Tom Pires, Prabu Siliwangi, para pemangku dan warga Pajajaran adalah orang-orang yang jujur, ramah, dan sopan. “.... The Kingdom of Sunda is Justtly Governed...” Prabu Siliwangi adalah seorang maharaja Sunda yang adil dan bijaksana dalam memerintah segenap rakyat kerajaannya.  (Ahmad Fahir/Anam)




Mengupas Sejarah Wangsit Prabu Siliwangi

Wangsit Prabu Siliwangi
Wangsit Prabu Siliwangi mengandung hakekat yang sangat tinggi oleh karena di dalamnya digambarkan situasi kondisi sosial beberapa masa utama dengan karakter pemimpinnya dalam kurun waktu perjalanan panjang sejarah negeri ini pasca kepergian Prabu Siliwangi (ngahyang/menghilang). Peristiwa itu ditandai dengan menghilangnya Pajajaran.


Sesuai sabda Prabu Siliwangi bahwa kelak kemudian akan ada banyak orang yang berusaha membuka misteri Pajajaran. Namun yang terjadi mereka yang berusaha mencari hanyalah 0rang-orang sombong dan takabur.

Seperti diungkapkan dalam naskah tersebut berikut ini :
”Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.”

Artinya :
“Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. Dan bahkan berlebihan kalau bicara.”

Namun dalam naskah Wangsit Siliwangi ini dikatakan bahwa pada akhirnya yang mampu membuka misteri Pajajaran adalah sosok yang dikatakan sebagai ”Budak Angon” (Anak Gembala). Sebagai perlambang sosok yang dikatakan oleh Prabu Siliwangi sebagai orang yang baik perangainya.

”Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi.”

Artinya :
”Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri de¬ngan wewangian.”

Selanjutnya dikatakan juga apa yang dilakukan oleh sosok ”Budak Angon” ini sbb :
”Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.”

Artinya :
”Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala; Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng, tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui, tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”

Dari bait di atas digambarkan bahwa sosok ”Budak Angon” adalah sosok yang misterius dan tersembunyi. Apa yang dilakukannya bukanlah seperti seorang penggembala pada umumnya, akan tetapi terus berjalan mencari hakekat jawaban dan mengumpulkan apa yang menurut orang lain dianggap sudah tidak berguna atau bermanfaat. Dalam hal ini dilambangkan dengan ranting daun kering dan tunggak pohon. Sehingga secara hakekat yang dimaksudkan semua itu sebenarnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan sejarah kejadian (asal-usul/sebab-musabab) termasuk karya-karya warisan leluhur seperti halnya yang kita baca ini. Dimana hal-hal semacam itu karena kemajuan jaman oleh generasi digital sekarang ini dianggap sudah usang/kuno tidak berguna dan bermanfaat. Pada akhirnya yang tersirat dalam hakekat perjalanan panjang sejarah negeri ini adalah berputarnya Roda Cokro Manggilingan (pengulangan perjalanan sejarah).

Gambaran situasi jaman dalam naskah Wangsit Siliwangi diawali dengan lambang datangnya ”Kerbau Bule” dan juga ”Monyet-monyet” yang kemudian ganti menyerbu selepas Kerbau Bule pergi. Ilustrasi ini melambangkan saat datangnya para penjajah yang berdatangan ke negeri ini, baik itu Portugis maupun Belanda. Dengan politik adu domba mereka maka terjadi peperangan antar saudara. Sejarah banyak yang hilang dan diputarbalikkan.

Seperti yang tertulis berikut ini :
”Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!. Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.”


Artinya :
”Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu : tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. Mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.”

Kemudian akhirnya masuk pada masa Perang Dunia II dengan datangnya pasukan Jepang yang dilambangkan dengan gemuruh yang datang dari ujung laut utara. Dimana masa penjajahan Jepang menandai berakhirnya penindasan di negeri ini. Terutama peristiwa jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika, sebagai perlambang dalam naskah Wangsit Siliwangi bahwa situasi carut marut yang terjadi ada yang menghentikan yaitu orang seberang.

”Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.”

Artinya :
”Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana sini. Lalu keturunan kita mengamuk: mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman; yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa; mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. Seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi, ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang seberang.”

Lalu selanjutnya terdapat suatu masa yang digambarkan dengan munculnya seorang pemimpin negeri ini dengan gambaran sbb :
”Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala!”

Artinya :
”Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan raja dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan raja; penguasa baru susah dianiaya!”

Siapakah sosok yang dimaksud dalam bait ini? Dia adalah Soekarno, Presiden RI pertama. Ibunda Soekarno adalah Ida Ayu Nyoman Rai seorang putri bangsawan Bali. Ayahnya seorang guru bernama Raden Soekeni Sosrodihardjo. Namun dari penelusuran secara spiritual, ayahanda Soekarno sejatinya adalah Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X. Nama kecil Soekarno adalah Raden Mas Malikul Koesno. Beliau termasuk ”anak ciritan” dalam lingkaran kraton Solo. (Silakan dibuktikan..) Pada masa kepemimpinan Soekarno banyak terjadi upaya pembunuhan terhadap diri beliau, namun selalu saja terlindungi dan terselamatkan.

Selanjutnya setelah berganti masa digambarkan bahwa semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala. Kondisi ini melambangkan pemimpin yang tidak mau mengerti penderitaan rakyat. Memerintah tidak dengan hati tapi segala sesuatunya hanya mengandalkan akal pikiran/logika dan kepentingan pribadi ataupun kelompok sebagai berhalanya. Sehingga yang terjadi digambarkan banyak muncul peristiwa di luar penalaran. Menjadikan orang-orang pintar hanya bisa omong alias pinter keblinger.

Seperti yang dikatakan sbb :
”Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.”

Artinya :
”Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omong¬an, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Sudah pasti: bunga teratai hampa sebagian, bunga kapas kosong buahnya, buah pare banyak yang tidak masuk kukusan. Sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar keblinger.”

Lalu dalam situasi dan kondisi tersebut yang tidak berbeda dengan saat ini kemudian muncul sosok orang yang dikatakan dalam naskah Wangsit Siliwangi sbb :
”Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun. Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; ming¬kin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!”

Artinya :
”Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar keblinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan ke penjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan. Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa me¬reka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.”

Sosok ”Pemuda Berjanggut” di atas adalah lambang laki-laki sejati yang sangat kuat prinsip dan akidahnya serta selalu eling (dilambangkan dengan baju serba hitam). Dan dia juga seorang yang tekun dan taat beribadah serta kuat dalam memegang ajaran leluhur (dilambangkan dengan menyanding sarung tua). Digambarkan bahwa di tengah situasi negeri yang panas membara (carut marut) dimana manusia dipenuhi nafsu angkara, ”Pemuda Berjanggut” datang mengingatkan yang pada lupa untuk kembali eling. Namun tidak dianggap.

Lalu pada alinea menjelang akhir dikatakan :
”Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.”

Artinya :
”Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mu’jizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti, saat munculnya Anak Gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.”

Situasi tersebut di atas adalah gambaran apa yang terjadi sekarang ini. Kalau kita perhatikan dengan cermat alinea ini, maka memang saat ini seluruh rakyat sedang berharap-harap menunggu datangnya mu’jizat di tengah-tengah carut marut yang sedang berlangsung di negeri ini. Bencana datang bertubi-tubi. Huru-hara terjadi di mana-mana. Pemuda Gendut merupakan lambang orang yang rakus dan serakah serta memiliki kepentingan pribadi. Dalam bait ini dikatakan bahwa penguasa tersebut akan tumbang pada saat munculnya “Budak Angon”. Dimana kemunculannya ditandai dengan banyak terjadi huru-hara yang bermula di daerah lalu meluas ke seluruh negeri.

Dalam mengkaji Wangsit Siliwangi ini kita telah menemui lelakon atau pemeran utama yang dikatakan dengan istilah ”Budak Angon” (Anak Gembala) dan ”Budak Janggotan” (Pemuda Berjanggut).
Coba mari kita simak alinea berikut :
”Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!”

Artinya :
”Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari Budak Angon, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi Budak Angon sudah tidak ada, sudah pergi bersama Budak Janggotan, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!”

Perselisihan yang terjadi adalah sia-sia belaka. Karena selalu saja pihak penguasa membantu yang kuat, berdiri angkuh di atas yang lemah. Ada saat dimana ”wong cilik” sebagai lambang ”si lemah yang tertindas” mencari penuh harap sosok ”Budak Angon dan Budak Janggotan.” Namun yang dicari sulit ditemukan karena telah pergi ke Lebak Cawéné. Dimanakah Lebak Cawéné ? Lebak Cawéné adalah suatu lembah seperti cawan, yang dikatakan di dalam Serat Musarar Joyoboyo sebagai Gunung Perahu. Tempat itu digambarkan sebagai suatu lembah atau bukit dimana permukaannya cekung seperti tertumbuk perahu besar. Dikatakan oleh bapak Budi Marhaen, secara gambaran spiritual, di tempat itu terdapat 2 sumber air besar dan ditandai dengan 3 pohon beringin (Ringin Telu).

Lebih lanjut dikatakan :
”Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui saka¬béhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!”

Artinya :
”Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, carilah Anak Gembala. Segeralah pergi. Tapi ingat, jangan menoleh ke belakang!”

Perlambang "gagak berkoar di dahan mati" bermakna situasi dimana banyak suara-suara tanpa arti. Rakyat menjerit-jerit, penguasa mengumbar janji-janji kosong. Sedangkan negara digambarkan banyak ditimpa bencana. Sekarang ini banyak gunung di nusantara sedang aktif bahkan beberapa gunung telah meletus. Ribut seluruh bumi merupakan lambang keresahan dunia internasional dewasa ini terhadap perubahan iklim dunia dan pemanasan global. Hal ini ditandai dengan banyak bencana yang terjadi di banyak negara. Nampaknya kita sedang memasuki tahapan situasi ini. Mari kita renungkan dan perhatikan dengan apa yang sedang terjadi di seluruh negeri ini. Gunung-gunung telah mulai aktif, banyak terjadi bencana dengan unsur Air, Api, Angin dan Tanah dimana-mana, banyak pula terjadi huru-hara (demonstrasi/kerusuhan) sebagai lambang ketidakpuasan di berbagai tempat. Apakah ini terjadi secara kebetulan ?
Tentu bagi yang memahami, ini semua adalah merupakan skenario langit.
Hal ini akan kita bedah lagi setelah sampai pada kesimpulan setelah kita mengkaji karya-karya leluhur lainnya.

Wallahu a'lam bissawaab

Misteri Hilangnya Prabu Siliwangi dan Bukti Adanya Pelabuhan Karawang

http://static.graddit.com/img/star.pnghttp://static.graddit.com/img/star.pnghttp://static.graddit.com/img/star.pnghttp://static.graddit.com/img/star.pnghttp://static.graddit.com/img/star.png
 (rating: 4 | 22 votes | 18278 views)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-6nCQCY8xorPw1TAiyQZQPpXKa-OnDuKDlMBSV35LWQ1rRxMVaVg3PEV5JNLc1TTPWLMNFrkejQBub23MIM0LRfkjRq7bPbzevAsycMYMhTWcDu3dZECf_H2udxsJTpYksIjYxLAGrg/s1600/dft.jpgHilangnya Parabu Siliwangi beserta kerajaanya sampai saat ini masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sehingga banyak beredar cerita-cerita Moksanya Prabu Siliwangi.

Sebelumnya saya telah menulis tentang Menyibak Tabir Misteri Berdirinya Masjid Agung Karawang yang konon ada benang merah dengan keberadaan Pelabuhan Karawang dan Hilangnya Prabu Siliwangi
Setelah Pernikahan Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Laraang, Syekh Quro atau Syekh Hasanudin menitipkan Pesantrennya kepada salah seorang murid yang dipercaya untuk meneruskan menyebarkan Agama Islam di Karawang yaitu Syekh Abdurahman.
Adapun Syekh Abdurahman merupakan keturanan dari generasi ke 17 setelah Rasullah SAW seperti di tunjukkan di gambar berikut
13130539192091099311
Silsilah Syekh Abdurahman Gambar Dok Pribadi
Sementara itu Syekh Hasanudin melakukan pengembaraanya dan sempat singgah di wilayah Lemah Abangm Wadas kabupaten Karawang untuk menyebarkan Islam disana dan saat ini terdapat maqam (jejak) kehadiran Syekh Hasanudin disana, yang disebut sebagai Maqam Syekh Quro Karawang.
Syekh Abdurahman menunaikan tugasnya dengan baik dan mengembangkan pesantren Quro lebih besar lagi sehingga pada saat itu terdapat pelabuhan yang amat ramai di daerah Bunut Kertayasa.
1313054248478376984
Contoh Gambar Uang dan Keramik Yang Ditemukan di Kawasan Bunut
Adapun bukti bukti yang menguatkan adanya pelabuhan karawang di Kampung Bunut Kelurahan Karawang Kulon yaitu ditemukannya kapak batu Neolit, beberapa keping uang VOC dari tembaga dan uang Gulden dari bahan prak, pecahan-pecahan porselen dari Tiongkok dan sebuah makam Embah Dalem yang tidak lain adalah wakil raja yang memerintah di suatu wilayah (penguasa setempat).
13130540881057720496
Makam Syekh Abdurahman Di Belakang Komplek MAsjid Agung Karawang
Sementara itu Syekh Abdurahman meninggal di pesanteran Quro dan sekarang makamnya terletak di Belakang Masjid Agung Karawang dan sering dikunjungi oleh  para peziarah.
1313054356479378209
Cikal Bakal Tiang Masjid Agung Lama
Misteri Hilangnya Prabu Siliwangi
Diceritakan Raden Pamanah Rasa menikah dengan Nyi Subang Larang dan Dari hasil perkawianan ini dikaruniai tiga orang Anak, yaitu : raden Walangsungsang, Nyi Mas Rarar Santang dan Raden Kean Santang.
Dalam versi Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon ketika Raden Pamanah Rasa Naik Tahta dengan gelar Prabu Siliwangi dan memerintah Pajajaran kala itu ia dihasut oleh Ki Buyut Talibrata untuk tidak tunduk pada Cirebon yang kala itu di pimpin oleh cucu Prabu Siliwangi Syarif Hidayatullah.
Kala itu Syarif Hidayatullah menyerukan kepada sebagaian penduduk Padjajaran untuk memeluk agama Islam, menghadapi seruan ini Prabu Siliwangi menuruti kata-kata Ki Buyut Talibrata yang menyatakan lebih baik “Ngahyang” atau menghilang (moksa) dari Bumi.
Seketika itu juga ketika dalam pengejaran Syarif Hidayatullah Istana Kerajaan Padjajaran menurut cerita berubah menjadi hutan belukar. Sang Prabu dan segenap rakyatnya hilang seperti ditelan bumi dan kerajaan Padjajaran hilang pada tahun 1482 Masehi.
Cerita Lain
Cerita lainnya menyebutkan Syarif Hidayatullah meminta ayahandaanya untuk melakukan sunat sebagaimana pemeluk Islam yang laen namun permintaan itu di tolak dan memutuskan untuk pergi dan menghilang.
Konon warga tataran sunda percaya Macan atau harimau yang muncul di Hutan lebat di daerah Sumedang merupakan perwujudan dari Prabu Siliwangi dan rakyatnya.
Wallahualam bishawab. 
Sumber:http://wisata.kompasiana.com/

Misteri Hilangnya Prabu Siliwangi dan Bukti Adanya Pelabuhan Karawang


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-6nCQCY8xorPw1TAiyQZQPpXKa-OnDuKDlMBSV35LWQ1rRxMVaVg3PEV5JNLc1TTPWLMNFrkejQBub23MIM0LRfkjRq7bPbzevAsycMYMhTWcDu3dZECf_H2udxsJTpYksIjYxLAGrg/s1600/dft.jpgHilangnya Parabu Siliwangi beserta kerajaanya sampai saat ini masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sehingga banyak beredar cerita-cerita Moksanya Prabu Siliwangi.

Sebelumnya saya telah menulis tentang Menyibak Tabir Misteri Berdirinya Masjid Agung Karawang yang konon ada benang merah dengan keberadaan Pelabuhan Karawang dan Hilangnya Prabu Siliwangi
Setelah Pernikahan Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Laraang, Syekh Quro atau Syekh Hasanudin menitipkan Pesantrennya kepada salah seorang murid yang dipercaya untuk meneruskan menyebarkan Agama Islam di Karawang yaitu Syekh Abdurahman.
Adapun Syekh Abdurahman merupakan keturanan dari generasi ke 17 setelah Rasullah SAW seperti di tunjukkan di gambar berikut

Silsilah Syekh Abdurahman Gambar Dok Pribadi
Sementara itu Syekh Hasanudin melakukan pengembaraanya dan sempat singgah di wilayah Lemah Abangm Wadas kabupaten Karawang untuk menyebarkan Islam disana dan saat ini terdapat maqam (jejak) kehadiran Syekh Hasanudin disana, yang disebut sebagai Maqam Syekh Quro Karawang.
Syekh Abdurahman menunaikan tugasnya dengan baik dan mengembangkan pesantren Quro lebih besar lagi sehingga pada saat itu terdapat pelabuhan yang amat ramai di daerah Bunut Kertayasa.

Contoh Gambar Uang dan Keramik Yang Ditemukan di Kawasan Bunut
Adapun bukti bukti yang menguatkan adanya pelabuhan karawang di Kampung Bunut Kelurahan Karawang Kulon yaitu ditemukannya kapak batu Neolit, beberapa keping uang VOC dari tembaga dan uang Gulden dari bahan prak, pecahan-pecahan porselen dari Tiongkok dan sebuah makam Embah Dalem yang tidak lain adalah wakil raja yang memerintah di suatu wilayah (penguasa setempat).

Makam Syekh Abdurahman Di Belakang Komplek MAsjid Agung Karawang
Sementara itu Syekh Abdurahman meninggal di pesanteran Quro dan sekarang makamnya terletak di Belakang Masjid Agung Karawang dan sering dikunjungi oleh  para peziarah.

Cikal Bakal Tiang Masjid Agung Lama
Misteri Hilangnya Prabu Siliwangi
Diceritakan Raden Pamanah Rasa menikah dengan Nyi Subang Larang dan Dari hasil perkawianan ini dikaruniai tiga orang Anak, yaitu : raden Walangsungsang, Nyi Mas Rarar Santang dan Raden Kean Santang.
Dalam versi Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon ketika Raden Pamanah Rasa Naik Tahta dengan gelar Prabu Siliwangi dan memerintah Pajajaran kala itu ia dihasut oleh Ki Buyut Talibrata untuk tidak tunduk pada Cirebon yang kala itu di pimpin oleh cucu Prabu Siliwangi Syarif Hidayatullah.
Kala itu Syarif Hidayatullah menyerukan kepada sebagaian penduduk Padjajaran untuk memeluk agama Islam, menghadapi seruan ini Prabu Siliwangi menuruti kata-kata Ki Buyut Talibrata yang menyatakan lebih baik “Ngahyang” atau menghilang (moksa) dari Bumi.
Seketika itu juga ketika dalam pengejaran Syarif Hidayatullah Istana Kerajaan Padjajaran menurut cerita berubah menjadi hutan belukar. Sang Prabu dan segenap rakyatnya hilang seperti ditelan bumi dan kerajaan Padjajaran hilang pada tahun 1482 Masehi.
Cerita Lain
Cerita lainnya menyebutkan Syarif Hidayatullah meminta ayahandaanya untuk melakukan sunat sebagaimana pemeluk Islam yang laen namun permintaan itu di tolak dan memutuskan untuk pergi dan menghilang.
Konon warga tataran sunda percaya Macan atau harimau yang muncul di Hutan lebat di daerah Sumedang merupakan perwujudan dari Prabu Siliwangi dan rakyatnya.
Wallahualam bishawab. 
Sumber:http://wisata.kompasiana.com/
PRABU SILIWANGI - 2 Keturunannya
PRABU SILIWANGI; 2 Rundayan di antara keturunannya:

PRABU SILIWANGI: (1482 – 1521 M)
Kanjeng Pangeran Mangku Negara, Prabu Banjaran Sari, Sri Baduga Maharaja – Rundayanana:
Dari isteri Nyi Ratu Putri Buniwangi, Ratu Ayu Rambut Kasih Sekar Arum Rutjitawati Kancana (Limbangan), putri dari Prabu Layaranwangi (Sunan Rumenggong) dari Keprabuan Kerta Rahayu, berputra antara lain:
I. Raden (Prabu) Hande Limansenjaya, atau Prabu Liman Djaja yang adalah putra Prabu Siliwangi yang ke-19; dan ada lagi Prabu Wastu Dewa dari ibu yang sama.
II. Prabu Hande mempunyai seorang putera bernama Raden Wijaya Kusumah, atau Prabu Adipati Djaja, Sultan (Sunan) Cipancar. Cucu Prabu Siliwangi ini masuk Islam pada tahun 1525 M
III. Raden Wijaya Kusumah berputra 14 orang, yang sulung bernama Raden Tumenggung Wangsanegara, Sunan Karaseda, yang melanjutkan ke-adipatian Galih-Pakuan, menggantikan ayahnya.
IV. Raden Wangsanegara berputra 6 orang, salah satunya Raden Adipati Aria Djiwanata.
V. Selanjutnya berputra Dalem Raden Adipati Arya Megatsari Suryakusumah, yang berputra 9 orang di antaranya:
VI. Dalem Adipati Suta Djiwanagara, yang wafat di Mataram; berputra:
VII. Tumenggung Widjajakusumah, Dalem Emas, di Sukadanah, Sadang Wanaraja; berputra 10 orang di antaranya:
VIII. Dalem Sutanagara di Cinunuk, Wanaraja – Garut. Leluhur keturunan Cinunuk ini berputra 8 orang, di antaranya seorang perempuan bernama:
IX. Nyai Raden Siti Tedja Kiamah; menikah dengan Kiai Raden Noer Chatim yang berputra 5 orang di antaranya:
X. Kiai Raden Muhammad Aliyam, beristri Nyimas Domas, berputra 3 orang, yang di antaranya;
XI. Kiai Raden Muhammad Djuwari, beristri Raden Nyimas Indjang; berputra:
XII. Raden Wangsa Muhammad, Pangeran Papak, yang lahir di Cinunuk pada abad ke-18 Masehi,
Wafat 17 Safar 1317 H atau th 1810 M. Selanjutnya dari keturunan ke-12 Prabu Siliwangi ini:
XIII. Nyi Raden Siti Satrinah, (anak ke-2) disebut Eyang Entri atau Uyut Enteh, wafat tahun 1925,
XIV. Aki Raden Madsari, menikah dengan nenek Enot
XV. Raden Haji Siti Mariah, di Tanjung, Kawalu wafat tahun 1982, menikah dengan Raden Yudawinata, putra Raden Yudapradja. Kuburannya sekarang di Cicariang – Kawalu.
XVI. Raden Maman Lukman, Kawalu (18-4-1917 --- 14-4-2000) menikah Nenah Hunaenah (1922)
XVII. Nyi Raden Euis Herlina (Iis), Kawalu 2-11-1959 menikah: Ir. H. Pipip Sumantri (5-5-1936)
XVIII. Ami Nadia Rachmi (13-12-1980); Qanita (10-9-1981); Zohra (27-12-1982); Bushra (18-7-1984); Safiyya (1-7-1985); Sakinat (Jeanette Fb. Lb, 18-4-1987); Mubasher Ahmad (1-11-1990)

Rundayan anu sanesna (ti putra nu kahiji Pangeran Papak):
XII Raden Wangsa Muhammad, Pangeran Papak, yang lahir di Cinunuk pada abad ke-18 Masehi,
Wafat 17 Safar 1317 H atau th 1810 M. Selanjutnya dari keturunan ke-12 Prabu Siliwangi ini:
XIII Raden Wangsadinata, Mantri Gudang Kopi Bojong Lopang; sumare di Cinunuk, putrana:
XIX. Raden Wiratmadja Suwangsa, wafat di Cianten sumare di Cinunuk, puputra, diantawisna:
XX. Raden Kamil Sura Muhammad, di Bandung; wafat 16 Juni 1965
Nikah ka Nyi Raden Sariyamah binti Raden Sastraamidjaya ti Majalaya (kawitna ti Sukapura); putra2-na: 1 Nyi Rd, Siti Priatti (Tuti); 2. Nyi Rd. Siti Piyatna (Nani); 3. Rd. Wilman (Iim); 4. Nyi Rd. Siti Rahayu (Uyuy) wafat di Bandung 1960; 5. Nyi Rd. Siti Rahadiyat (Eyet); 6. Rd. Satria (Aat, Jl. Mutiara 9, Lampiri Ciheuleut, Bogor; istrina: Nani Chaerani, Bogor 1951 asal Pelag – Majalaya, Rd. Ai Warsiah bt. R. H. Sirad ti Pelag – Nagrak - Majalaya); 7. Nyi R. Siti Sutria (Uut, wafat di Bandung 1948); 8. Rd. Rahman; 9. Rd. Dirman (wafat tahun 1951).
Nikah kadua kalina ka: Ny. Rd. Hindun Komala binti Rd. Suradimadja b. R. H. Sirad (nu istrina namina Nyi Rd Malyam, asal Pelag). Putra2-na: Rd. Abdul Kadar (Dandan); 2. Rd. Abdul Kadir (Dindin); 3. Rd. Komalasari (Tatat); 4. Rd. Kamelia (Tetet); 5. Rd Kurnia Kamal (Kunkun).

Source:

http://marsela-ppsi.blogspot.com/2010/04/prabu-siliwangi-2-keturunannya.html
http://i649.photobucket.com/albums/uu219/enjebe/Sislilah_01dipatiukur.gif



                    https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlMSgJO_IX8MfATomqmilSHd-A4gXzfcY11uLwzBP6ZjLlwPNnWNE1DBJW-7RvLel-juMMsIV6nRvC2L5NkiBcI6gVdVmBgFZtO47-IL6Ai7oONe1sJ81q8usK3sGe-KfQaoGEt1g7p8o/s1600/pawitra-desember-3.jpghttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlMSgJO_IX8MfATomqmilSHd-A4gXzfcY11uLwzBP6ZjLlwPNnWNE1DBJW-7RvLel-juMMsIV6nRvC2L5NkiBcI6gVdVmBgFZtO47-IL6Ai7oONe1sJ81q8usK3sGe-KfQaoGEt1g7p8o/s1600/pawitra-desember-3.jpg







                                         https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvKC6Z7g5rxiAborSFenbWULe1X4w90u1j8U32QmgUUrjEWI8ntkrB7cYyJPpIpjgHuTfNd0StuB3k9Zy72HLoIElysXfeVquUKHd87vFUACKXVwuXxmch9KSn3C6bnLiCVZXOj8l6ETk/s1600/untitled.JPG

1 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


    BalasHapus